![]() |
| Tobong gamping milik Ny Tukirah warga Jimbung yang masih bertahan (Foto : Sumanto) |
“Kendati belakang ini pembangunan semakin berkembang, namun permintaan hasil produksi gamping lesu,” ungkp Ny Tukirah, salah seorang dari puluhan pengusaha tobong gamping, Selasa (12/2). Lebih lanjut dikatakan, sekitar tahun 1980-an merupakan puncak kejayaan para pengusaha tobong gamping tradisional di daerah Krakitan dan Jimbung.
Namun, setelah banyaknya pengusaha tobong lama-kelamaan satu demi satu ‘mreteli’ (menyusut) karena bangkrut. Kebangkrutan itu bukan karena salah langkah atau salah perhitungan karena terlilit hutang (pinjaman bank). Tetapi karena persaingan sesama pengusaha yang tidak sehat. “Waktu itu tidak ada patokan harga gamping, dan masing-masing pengusaha menentukan harga sendiri-sendiri. Akibatnya lama-kelamaan sebagian besar pengusaha disini banyak yang bangkrut,” kata dia.
Sebelum tahun 1980-an di kaki gunung kapur Desa Krakitan saja ada 54 tobong gamping. Namun karena kebutuhan pasar ‘lesu’ dari 54 pengusaha tobong menyusut karena bangkrut tinggal sekitar 10 orang pengusaha tobong mempertahankan usahanya. Karena hasil produksi gamping tradisional semakin ‘tergencet’, lanjut Ny Tukirah, dari 10 pengusaha ini belakangan tidak semua tobong yang boleh dibilang masih agak rutin penggiatkan tobongnya.
“Sedangkan sebagian besar pengusaha lainnya kadang hanya sekali dalam satu bulan melakukan pembakaran. Pokoknya kalau ada pesanan dan jika biaya terjangkau tobong digiatkan kembali,” ungkap Mitro Suwandi (80) warga Demangan, Desa Glodokan, yang mengaku sebagai pengusaha tobong gamping sudah sejak 60 tahun silam.
Menurutnya, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya sekarang ini tobongnya hanya berproduksi sekali dalam satu bulan. Adapun biaya sekali pembakaran memerlukan dana sebesar Rp 700.000 dari kapasitas batu kapur 4-5 truk yang setiap truknya seharga Rp 100.000 perangko sendiri (mengambil ke lokassi gunung kapur). “Biaya sebesar itu sudah termasuk upah tenaga kerja sebanyak 15 orang. Sedangkan harga gamping kawur Rp 250.000/M,3, dan gamping ungkul Rp 400.000/M.3-nya,” ujar dia.
Terpisah, sejumlah penambang batu kapur menyatakan, hilangnya pekerjaan itu dikarenakan sepinya permintaan akan bahan baku kapur dari daerah setempat. Karena itu, umumnya pekerja yang semula menggeluti pekerjaan ini, akhirnya pupus meninggalkan pekerjaan lama untuk beralih ke usaha lain. Bahkan, tidak sedikit warga merantau ke luar kota Klaten. “Permintaan akan batu kapur disini benar-benar turun dratis,” ujar Giyanto, seorang penambang.
Menurut dia, meski sekarang tinggal beberapa tenaga kerja (penambang batu kapur) namun, penghasilan para penambang tidak memuaskan, jauh jika dibandingkan saat PG Gondang baru dan Ceper Baru mengambil batu kapur di Gunung Kapur di Krakitan, Bayat ini. “Sebanyak lima orang tenaga kerja sehari paling bisa mengantongi Rp 25.000 - Rp 30.000/orang. Padahal selagi ramai saat itu (tahun 1980-an) para penggali batu kapur berhasil meraup rezeki lumayan,” ungkap dia seraya menyatakan waktu itu jumlah teman kerjanya lebih dari 10 orang. (Anto)

.jpg)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !