![]() |
| Tari “Bedhaya Ladrang Mangungkung” yang dibawakan tujuh penari putri karya koreografer Rusini yang dipentaskan di Pendapa Prangwedanan Pura Mangkunegaran, Sabtu (23/2) malam. (Foto : Zaenal Huda) |
![]() |
| Tari “Bondoboyo” karya Sri Mangkunegara IV yang dibawakan empat penari putra yang dipentaskan di Pendapa Prangwedanan Pura Mangkunegaran, Sabtu (23/2) malam. (Foto : Zaenal Huda) |
SOLO-INDEPNews ; Adalah koreografer Rusini yang malam Sabtu (23/2) tadi malam, mementaskan repertoar tari “Bedhaya Ladrang Mangungkung” di Pendapa Prangwedanan Pura Mangkunegaran mengaku, ide penciptaan tari ini bermula dari adanya laskar putri bentukan Pangeran Sambernyawa yang berjumlah 40 orang dalam melawan Belanda pada sekitar tahun 1740 yang diberi nama pasukan Ladrang Mangungkung.
Secara eksplisit pula, Rusini memasukkan bagaimana kisah percintaan Pangeran Sambernyawa dengan Matah Ati, sang permaisuri hingga akhirnya disusul gerakan-gerakan peperangan para penari yang kesemuanya dibawakan oleh perempuan. “Saya ingin menggambarkan sikap patriotisme dan heroisme dalam laskar Ladrang Mangungkung itu. Kendati semua penarinya adalah perempuan,” ujar Rusini usai pertunjukkan malam itu.
Perempuan yang mengaku, tahun 2012 lalu telah menciptakan tiga repertoar termasuk “Bedhaya Ladrang Mangungkung” ini lantas mengisahkan, Pura Mangkunegaran memang banyak meninggalkan kesenian diberbagai bidang yang adi luhung. Termasuk sejumlah repertoar tari yang di luar pura tidak ditemukan. Misalnya Langendriyan. Yakni tarian yang di tengah-tengahnya selalu diselipkan dengan tetembangan sebagai dialog.
Berangkat dari itulah, maka Paguyuban Sabtu Pon, yang terdiri dari mahasiswa dan dosen Akademi Seni Mangkunegaran (ASGA) Surakarta, Langen Budaya Pura Mangkunegaran, Pakarti dan Sanggar Surya Sumirat menggelar acara “Tingalan Wiyosan Sabtu Pon”. Yang berisi sajian repertoar tari, teater, karawitan yang kesemuanya bersumber dari Pura Mangkunegaran.
Ditemui secara terpisah, Ketua panitia Paguyuban Sabtu Pon, Cahyaningtyas mengatakan, acara ini sebagai bentuk pelestarian dari peninggalan para pendiri Pura Mangkunegaran dari jaman Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa hingga Sri Paduka Mangkunegara IX saat ini.
“Empat repertoar tari yang ditampilkan, pertama “Bedhaya Ladrang Mangungkung”, “Bondoboyo”, “Srimpi Mondrorini” dan “Langendriyan”. Untuk “Langendriyan”, pertama kali dipentaskan pada peringatan kenaikan tahta Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara V pada 15 Desember 1881,” jelasnya.
Sedangkan untuk “Bondoboyo” kata dia, karya Sri Paduka Mangkunegara IV yang menggambarkan para prajurit yang gagah berani yang menggunakan anggar serta tameng. Untuk tari “Srimpi Madrarini” karya Sri Paduka Mangkunegara VII yang menceritakan para prajurit wanita yang tengah berlatih perang menggunakan senjata panah dan cundrik.
“Ke depan, kami berharap acara ini akan terus berlangsung tiap Sabtu Pon. Sehingga selain sebagai ajang pelestarian kesenian khas Mangkunegaran. Acara ini akan menjadi agenda tetap kegiatan paguyuban kami,” pungkasnya. (Hud)
Perempuan yang mengaku, tahun 2012 lalu telah menciptakan tiga repertoar termasuk “Bedhaya Ladrang Mangungkung” ini lantas mengisahkan, Pura Mangkunegaran memang banyak meninggalkan kesenian diberbagai bidang yang adi luhung. Termasuk sejumlah repertoar tari yang di luar pura tidak ditemukan. Misalnya Langendriyan. Yakni tarian yang di tengah-tengahnya selalu diselipkan dengan tetembangan sebagai dialog.
Berangkat dari itulah, maka Paguyuban Sabtu Pon, yang terdiri dari mahasiswa dan dosen Akademi Seni Mangkunegaran (ASGA) Surakarta, Langen Budaya Pura Mangkunegaran, Pakarti dan Sanggar Surya Sumirat menggelar acara “Tingalan Wiyosan Sabtu Pon”. Yang berisi sajian repertoar tari, teater, karawitan yang kesemuanya bersumber dari Pura Mangkunegaran.
Ditemui secara terpisah, Ketua panitia Paguyuban Sabtu Pon, Cahyaningtyas mengatakan, acara ini sebagai bentuk pelestarian dari peninggalan para pendiri Pura Mangkunegaran dari jaman Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa hingga Sri Paduka Mangkunegara IX saat ini.
“Empat repertoar tari yang ditampilkan, pertama “Bedhaya Ladrang Mangungkung”, “Bondoboyo”, “Srimpi Mondrorini” dan “Langendriyan”. Untuk “Langendriyan”, pertama kali dipentaskan pada peringatan kenaikan tahta Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara V pada 15 Desember 1881,” jelasnya.
Sedangkan untuk “Bondoboyo” kata dia, karya Sri Paduka Mangkunegara IV yang menggambarkan para prajurit yang gagah berani yang menggunakan anggar serta tameng. Untuk tari “Srimpi Madrarini” karya Sri Paduka Mangkunegara VII yang menceritakan para prajurit wanita yang tengah berlatih perang menggunakan senjata panah dan cundrik.



0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !