JAKARTA - INDEPNEWS.Com : Pat-gulipat dalam transaksi bisnis yang terindikasi merugikan negara ternyata masih terus berlangsung. Setelah sebelumnya kita dikejutkan oleh kasus BLBI, kasus Century dan lain-lain yang merugikan negara trilyunan rupiah, kini satu lagi transaksi yang potensial merugikan dan bahkan menguras aset negara terjadi di dunia telekomunikasi.
Transaksi penjualan yang dilakukan oleh PT. Telkom terhadap anak usahanya PT. Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) ke Tower Bersama Infrastructure (TBIG) yang secara kasat mata merugikan dan bahkan ditolak oleh DPR RI pada 9 Desember 2013 ternyata tetap dilanjutkan.
Perlu diketahui bahwa proses yang berlangsung saat ini PT. Telkom telah menandatangani Conditional Sales and Purchase Agreement (CSPA) atau perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dengan TBIG dengan model transaksi Share Swap alias tukar guling saham.
Prosesnya, Telkom melakukan tukar guling 100 persen saham Mitratel dengan 13,7 persen saham Telkom di TBIG. TBIG tidak membayar dalam bentuk tunai ke PT Telkom, melainkan menukarnya dengan 290 juta lembar saham TBIG pada tahap pertama untuk 49% saham di Mitratel. Berikutnya, TBIG akan menerbitkan 473 lembar saham baru pada saat Telkom menukarkan sisa 51% saham Mitratel.
Transaksi ini merugikan negara karena beberapa hal:
1. Pembayaran bukan tunai. TBIG membayar Telkom dengan menerbitkan saham baru senilai Rp 7972 per saham. Dengan demikian, Telkom berisiko menderita kerugian bila harga saham jatuh di bawah Rp 7972.
Mengingat gejolak pasar saham, tidak ada seorang pun yang dapat menjamin bahwa harga saham akan naik atau turun. Jadi transaksi ini sangat berisiko.
2. Telkom menjual murah Mitratel namun membeli dengan harga tinggi saham TBIG. Telkom menjual Mitratel dengan harga rerata per menara sebesar Rp 1.2 miliar. Pada saat hampir bersamaan, XL Axiata yang menjadi pesaing Telkomsel, menjual 3500 menara ke PT Solusi Tunas Pratama Tbk dengan harga Rp5.6 triliun dalam bentuk tunai. Itu artinya, XL berhasil mendapatkan harga Rp1.6 miliar per menara. Selisih harga antara harga yang ditetapkan Telkom dan XL adalah Rp400 juta per menara.
Dengan demikian, potensi kerugian Telkom dalam penjualan 49% saham Mitratel menjadi 49% x 3920 menara x Rp 400 juta per menara = Rp 768 miliar. Bahkan, dalam surat yang dibuat oleh Komisaris Independen Telkom (kala itu), Virano Gazi Nasution, Negara dan pemegang saham bisa dirugikan Rp 6 triliun pada saat penutupan transaksi, dan bahkan bisa mencapai Rp 50 triliun, jika melihat nilai perusahaan ke depan.
3. Telkom akan kehilangan kendali sepenuhnya dari Mitratel. Penjualan 49% saham Mitratel juga disertai dengan persetujuan Telkom untuk melepas kendali manajemen ke TBIG, padahal Telkom masih menjadi pemegang saham terbesar (51%). Dan ini akan dilanjutkan dengan pelepasan 51% sisanya di tahap kedua yang membuat PT. Telkom akan kehilangan kendali bahkan kepemilikan seluruh saham di Mitratel.
Di sisi lain, dengan kepemilikan saham dibawah 25 persen di TBIG, maka Telkom akan terkena pajak dividen saat TBIG membagikan dividen. Bahkan 13,7 persen saham PT. Telkom di TBIG merupakan investasi portfolio dengan hak-hak yang sangat terbatas.
4. Valuasi (penilaian) atas saham Mitratel ternyata tidak memperhitungkan penambahan 2000 tower Mitratel sejak Juli 2013 hingga akhir 2014, yang jika ditotal maka akan menambah besar hitungan kerugian penjualan tower Mitratel jika dibandingkan transaksi serupa yang dilakukan XL Axiata kepada PT Solusi Tunas Pratama Tbk.
5. Kepemilikan TBIG atas Mitratel yang notabene merupakan pesaing bisnis bagi TBIG sendiri secara bisnis akan menyebabkan TBIG memonopoli bisnis tower di bidang telekomunikasi. Sementara untuk Telkom akan membuat perusahaan negara tersebut kehilangan peluang bisnis di bidang tower telekomunikasi dengan mengaamputasi anak perusahaaannya di bidang tersebut.
Mengingat kesepakatan ini terjadi di masa transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi, transaksi Telkom-TBIG ini dapat menjadi beban bagi pemerintahan Jokowi saat ini. Secara politis, transaksi ini juga dapat dimaknai sebagai upaya “penghianatan” yang dilakukan oleh segelintir orang kepercayaan presiden terhadap cita-cita “revolusi mental” yang diperjuangkan oleh Presiden terpilih. Karena penjualan terjadi dengan memanfaatkan kisruh di parlemen dan kegaduhan politik yang muncul dalam masa transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi.
Karena aksi tukar guling ini mengancam kerugian Negara, untuk itu kami mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera memanggil Direktur Telkom, dan Mitratel.
Kami juga meminta agar BPKP dan Kejaksaan Agung segera mengusut transaksi tersebut dan sekaligus membatalkan transaksi yang berjalan karena potensi kerugian negara yang terdapat didalamnya. Pasalnya dalam pengumuman transaksi per tanggal 10 Oktober 2014 yang tercantum di situs resmi perusahaan, Conditional Sales and Purchase Agreement (CSPA) atau perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) akan segera dilaksanakan pada semester pertama 2015.
"Kami sangat berharap KPK dan Kejaksaan Agung jangan terkecoh dengan tukar guling saham, yang seolah-olah hanya proses bisnis atau aksi korporasi semata-mata, tetapi ternyata menjual aset negara untuk mengejar fee yang untungkan kartel yang telah lama merecoki bisnis di Telkom selama ini,”! (Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi Telekomunikasi) IEDS (Indonesia Economic Development Studies), Jaringan Mahasiswa Telematika (JAMTEL), dan MPTI (Masyarakat Pro-Transparansi Indonesia) [Musyafaur Rahman]
Transaksi penjualan yang dilakukan oleh PT. Telkom terhadap anak usahanya PT. Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) ke Tower Bersama Infrastructure (TBIG) yang secara kasat mata merugikan dan bahkan ditolak oleh DPR RI pada 9 Desember 2013 ternyata tetap dilanjutkan.
Perlu diketahui bahwa proses yang berlangsung saat ini PT. Telkom telah menandatangani Conditional Sales and Purchase Agreement (CSPA) atau perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dengan TBIG dengan model transaksi Share Swap alias tukar guling saham.
Prosesnya, Telkom melakukan tukar guling 100 persen saham Mitratel dengan 13,7 persen saham Telkom di TBIG. TBIG tidak membayar dalam bentuk tunai ke PT Telkom, melainkan menukarnya dengan 290 juta lembar saham TBIG pada tahap pertama untuk 49% saham di Mitratel. Berikutnya, TBIG akan menerbitkan 473 lembar saham baru pada saat Telkom menukarkan sisa 51% saham Mitratel.
Transaksi ini merugikan negara karena beberapa hal:
1. Pembayaran bukan tunai. TBIG membayar Telkom dengan menerbitkan saham baru senilai Rp 7972 per saham. Dengan demikian, Telkom berisiko menderita kerugian bila harga saham jatuh di bawah Rp 7972.
Mengingat gejolak pasar saham, tidak ada seorang pun yang dapat menjamin bahwa harga saham akan naik atau turun. Jadi transaksi ini sangat berisiko.
2. Telkom menjual murah Mitratel namun membeli dengan harga tinggi saham TBIG. Telkom menjual Mitratel dengan harga rerata per menara sebesar Rp 1.2 miliar. Pada saat hampir bersamaan, XL Axiata yang menjadi pesaing Telkomsel, menjual 3500 menara ke PT Solusi Tunas Pratama Tbk dengan harga Rp5.6 triliun dalam bentuk tunai. Itu artinya, XL berhasil mendapatkan harga Rp1.6 miliar per menara. Selisih harga antara harga yang ditetapkan Telkom dan XL adalah Rp400 juta per menara.
Dengan demikian, potensi kerugian Telkom dalam penjualan 49% saham Mitratel menjadi 49% x 3920 menara x Rp 400 juta per menara = Rp 768 miliar. Bahkan, dalam surat yang dibuat oleh Komisaris Independen Telkom (kala itu), Virano Gazi Nasution, Negara dan pemegang saham bisa dirugikan Rp 6 triliun pada saat penutupan transaksi, dan bahkan bisa mencapai Rp 50 triliun, jika melihat nilai perusahaan ke depan.
3. Telkom akan kehilangan kendali sepenuhnya dari Mitratel. Penjualan 49% saham Mitratel juga disertai dengan persetujuan Telkom untuk melepas kendali manajemen ke TBIG, padahal Telkom masih menjadi pemegang saham terbesar (51%). Dan ini akan dilanjutkan dengan pelepasan 51% sisanya di tahap kedua yang membuat PT. Telkom akan kehilangan kendali bahkan kepemilikan seluruh saham di Mitratel.
Di sisi lain, dengan kepemilikan saham dibawah 25 persen di TBIG, maka Telkom akan terkena pajak dividen saat TBIG membagikan dividen. Bahkan 13,7 persen saham PT. Telkom di TBIG merupakan investasi portfolio dengan hak-hak yang sangat terbatas.
4. Valuasi (penilaian) atas saham Mitratel ternyata tidak memperhitungkan penambahan 2000 tower Mitratel sejak Juli 2013 hingga akhir 2014, yang jika ditotal maka akan menambah besar hitungan kerugian penjualan tower Mitratel jika dibandingkan transaksi serupa yang dilakukan XL Axiata kepada PT Solusi Tunas Pratama Tbk.
5. Kepemilikan TBIG atas Mitratel yang notabene merupakan pesaing bisnis bagi TBIG sendiri secara bisnis akan menyebabkan TBIG memonopoli bisnis tower di bidang telekomunikasi. Sementara untuk Telkom akan membuat perusahaan negara tersebut kehilangan peluang bisnis di bidang tower telekomunikasi dengan mengaamputasi anak perusahaaannya di bidang tersebut.
Mengingat kesepakatan ini terjadi di masa transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi, transaksi Telkom-TBIG ini dapat menjadi beban bagi pemerintahan Jokowi saat ini. Secara politis, transaksi ini juga dapat dimaknai sebagai upaya “penghianatan” yang dilakukan oleh segelintir orang kepercayaan presiden terhadap cita-cita “revolusi mental” yang diperjuangkan oleh Presiden terpilih. Karena penjualan terjadi dengan memanfaatkan kisruh di parlemen dan kegaduhan politik yang muncul dalam masa transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi.
Karena aksi tukar guling ini mengancam kerugian Negara, untuk itu kami mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera memanggil Direktur Telkom, dan Mitratel.
Kami juga meminta agar BPKP dan Kejaksaan Agung segera mengusut transaksi tersebut dan sekaligus membatalkan transaksi yang berjalan karena potensi kerugian negara yang terdapat didalamnya. Pasalnya dalam pengumuman transaksi per tanggal 10 Oktober 2014 yang tercantum di situs resmi perusahaan, Conditional Sales and Purchase Agreement (CSPA) atau perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) akan segera dilaksanakan pada semester pertama 2015.
"Kami sangat berharap KPK dan Kejaksaan Agung jangan terkecoh dengan tukar guling saham, yang seolah-olah hanya proses bisnis atau aksi korporasi semata-mata, tetapi ternyata menjual aset negara untuk mengejar fee yang untungkan kartel yang telah lama merecoki bisnis di Telkom selama ini,”! (Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi Telekomunikasi) IEDS (Indonesia Economic Development Studies), Jaringan Mahasiswa Telematika (JAMTEL), dan MPTI (Masyarakat Pro-Transparansi Indonesia) [Musyafaur Rahman]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !