Menyamar Jadi Orang Tua Murid, Walikota Risma Bongkar Pemainan Kotor Iuran Sekolah
|
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Ist) |
JAKARTA - INDEPNEWS.Com : Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memberikan kesaksian di Mahkamah Konstitusi (MK) atas
uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal
15 ayat 1 dan 2 serta Lampiran huruf A tentang Pembagian Urusan Pemerintah
Bidang Pendidikan dalam sub-urusan Manajemen Pendidikan.
Dalam lampiran disebutkan, Pemerintah Provinsi
mengelola pendidikan menengah, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota, mengelola
pendidikan dasar.
Tri Rismaharini yang kerap disapa Risma kemudian
disumpah. Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat pun memberikan
kesempatan kepada Risma untuk bersaksi.
"Saya sudah menyampaikan secara
tertulisnya. Sekarang saya sampaikan yang belum tertulis saja, sebagai
penambahan," ucap Risma di dalam ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/6) lalu.
Mendengar hal itu, Hakim Konstitusi Arief
pun hanya mempersilakannya. "Baik yang secara tertulis sudah dianggap
dibacakan, sekarang silakan disampaikan," kata Arief.
Risma menuturkan, saat menjabat sebagai Kepala
Badan Perencanaan Kota Pemerintah Surabaya pada 2008, ada seorang warga yang
mengeluhkan tiga anaknya tidak diperbolehkan ikut ujian lantaran menunggak
membayar.
"Ada
seorang bapak, menuliskan kepada saya, dan menceritakan bangkrut. Dia mempunyai
tiga anak bersekolah SMK, SMP, dan SD. Di sekolahnya, disebutkan enggak bisa
ikut ujian, tak bisa membayar. Saya langsung ke sana (sekolah) dengan kesadaran
sendiri," kata Risma.
Dia lalu menyamar sebagai wali murid dari tiga
anak itu dan dipertemukan dengan seorang guru. Guru tersebut menjelaskan,
setiap anak diberikan beban sebesar Rp 900 ribu untuk ujian akhir.
Pembagiannya, Rp 450 ribu untuk kursus, sisanya untuk jalan-jalan sekolah.
"Dia memang menjawab bahwa sekolah gratis.
Tapi ini uang kursus, uang rekreasi. Lalu saya bilang, saya ini wali murid dan
saya mau bayar," cerita Risma.
Saat berniat bisa membayar, dia kembali
diceritakan ada banyak anak yang juga belum membayar, dengan total Rp 5 juta.
Dengan tegas, politikus PDIP itu pun juga langsung membayarnya.
"Akhirnya saya memutuskan kalau saya akan
bayari semua yang hampir Rp 5 juta tadi itu," ungkap dia.
Saat hendak membayar itulah, Risma kemudian
disindir dengan kata-kata,' bayar Rp 5 juta bisa, tapi bayar Rp 450 ribu tak
bisa'. Hal itu membuatnya kesal dan membuka penyamarannya.
"Di situ saya marah dan saya buka, bahwa saya
ini Kepala Badan Perencanaan Kota. Saya sudah pikirkan, kalau begini terus, ini
tidak adil bagi anak miskin. Saya tidak mau hal ini terus menerus," tegas
Risma.
Cerita tersebut, dicontohkannya lantaran
pemerintah kota,
bisa lebih baik, membuat kebijakan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi
masyarakat.
"Ini berharga untuk kebijakan pendidikan di
Surabaya.
Jujur, yang Mulia, saya tidak bisa terima jika ada anak yang tidak bisa
mendapatkan pendidikan secara layak," Risma menandaskan.
Uji Materi
Uji materi undang-undang ini diajukan pada 7
Maret 2016 oleh empat wali murid dari Surabaya.
Pemohon terdiri atas Ketua Komite SMAN 4 Surabaya Bambang Soenarko, Ketua
Komite SMPN 1 Surabaya yang juga wali murid SMAN 5 Surabaya Enny Ambarsari,
Radian Jadid, dan Wiji Lestari.
Gagasan untuk menggugat undang-undang ini
terutama pada pasal pengelolaan SMA/SMK yang akan dialihkan dari kabupaten/kota
ke provinsi. Sementara itu, landasan gugatan tersebut, merupakan UU sistem
pendidikan nasional, di mana kemampuan Kota Surabaya membiayai sendiri
pendidikan SMA/SMK serta kewajiban pemerintah daerah kepada warganya.
Perkara bermula dari empat orang wali murid yang
tidak sepakat dengan adanya pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Kota kepada Pemerintah
Provinsi tentang pendidikan melalui UU No 23 Tahun 2014.
Keempat wali murid, melalui kuasa hukumnya,
Edward Dewaruci mengatakan bahwa pengalihan tersebut dirasa akan sangat
mengurangi fasilitas yang sebelumnya selama ini dipegang oleh pemerintah
kota/kabupaten.
Begitu juga dengan anggaran dari pemerintah
provinsi Jawa Timur yang dirasa sangat kurang dibanding dengan pemerintah Kota
Surabaya. Gugatan tersebut akhirnya berperkara di MK dengan Nomor
31/PUU-XIV/2016. (liputan6/inc)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !