![]() |
Ilustrasi |
JAKARTA - INDEPNEWS.Com
: Banyaknya opini di media massa terkait dengan kelompok Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender (“LGBT”) ada beberapa pihak mendukung dan ada yang
menolak keberadaan mereka bahkan banyak analisa yang menarik atas keberadaan
LGBT dari berbagai perspektif diantaranya Agama, Kedokteran, bahkan dalam
perspektif Hak Asasi Manusia; tidak sedikit atas beberapa pendapat tersebut
menimbulkan perdebatan yang mengemuka salah satunya adalah berbicara hak asasi
manusia.
Kelompok LGBT di
bawah payung “Hak Asasi Manusia” meminta masyrakat dan Negara untuk mengakui
keberadaan komunitas ini; bila kita melihat dari Konstitusi Indonesia yakni
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J yang menyatakan sebagai berikut :
(1) Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dalam konstitusi
Indonesia memandang HAM memiliki batasan, dimana batasannya adalah tidak boleh
bertentangan dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum;
Indonesia memang bukan Negara yang berdasarkan Agama namun Pancasila jelas
menyatakan dalam sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga nilai-nilai
agama menjadi penjaga sendi-sendi konstitusi dalam mewujudkan kehidupan
demokratis bangsa Indonesia.
Begitu
juga ditegaskan pula dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal
70 yang menyatakan sebagai berikut :
“Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis”.
Dan
Pasal 73 UU HAM yang menyatakan “Hak
dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Pembatasan-pembatasan
HAM memungkinkan demi penghormatan kepada hak asasi manusia oleh karenanya
Negara hadir dalam melakukan batasan-batasan tersebut untuk kepentingan bangsa.
Hak
asasi manusia tidak bisa dijadikan kedok untuk menganggu hak orang lain atau
kepentingan publik. Tidak ada argument yang relevan untuk mengahapus larangan
pernikahan sesama jenis dengan dasar pengahapusan diskriminasi. Gay dan lesbian
bukanlah kodrat manusia melainkan penyakit sehingga tidak relevan
mempertahankan kemauan mereka yakni legalisasi pernikahan sesama jenis atas
dasar persamaan. Persamaan diberlakukan dalam hal pelayanan terhadap orang yang
berbeda suku, warna kulit, dan hal lain yang diterima di masyarakat. Gay dan
lesbian perlu diobati agar normal kembali sehingga tidak merusak masyarakat dan
oleh karenanya kewajiban negara untuk mengobati mereka bukan
melestarikannya.
Hak
untuk menikah dan berkeluarga bukan ditujukan untuk menjustifikasi pernikahan
sesama jenis. Hukum perkawinan kita mendefinisikan perkawinan adalah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (SNH).
Sylviani Abdul Hamid, SH.I., MH: Advokat
dan Direktur Eksekutif Solidarity Network for Human Rights (SNH)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !