![]() |
Menteri Keuangan Sri Mulyani
|
Saya baru saja dapat. Sepucuk surat cinta dari yang
terkasih Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani. Saya sebut surat
cinta karena tentunya surat
itu ditujukan Ibu Menteri untuk para kepala daerah yang beliau sayangi. Saya
sebut surat
cinta karena pasti tujuannya baik. Setidaknya demikian lah niatan Ibu Menteri.
Sayangnya surat cinta Ibu Menteri kali ini meresahkan.
Karena isinya tentang penundaan penyaluran sebagian dana alokasi umum tahun
anggaran 2016. Dasarnya penghematan anggaran.
Meresahkan karena surat cinta ini meluncur di tengah tahun
anggaran berjalan. Jelas kami tidak siap.
Bagaimana memangkas anggaran dari
program pembangunan yang sedang berjalan? Tender-tender proyek juga sudah
berjalan. Bahkan sejak Desember tahun lalu karena kami ingin melaksanakan
perintah Presiden untuk memaksimalkan serapan anggaran.
Kami harus putar otak. Saya
kumpulkan seluruh pejabat pelayan masyarakat. Kami utak-atik anggaran.
Kira-kira pos mana yang bisa dipangkas dan disesuaikan dengan penundaan DAU
ini.
Seturut itu, kepala desa juga ikut
resah. Karena sesuai undang-undang, pemerintah kabupaten kota harus mengalokasikan DAU untuk anggaran
desa minimal 10 persen. Jika DAU kabupaten kota ditunda, maka dana desa bisa jadi juga
tertunda.
Sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah, saya mendapat banyak pertanyaan dari teman-teman bupati, walikota, dan
kepala desa. Juga ratusan SMS para PNS yang menanyakan isu penundaan DAU yang
berimbas pada penundaan gajinya.
Kegemparan ini memang beralasan.
Sebab sebagian DAU memang digunakan untuk membayar gaji pegawai. Kalau DAU ditunda,
bagaimana pemerintah daerah membayar gaji PNS. Tidak mungkin juga memotong gaji
pegawai karena nominalnya sudah tetap dan tidak bisa dikurangi.
Sedangkan jika mengambil sebagian
anggaran program pembangunan untuk gaji pegawai juga tidak mungkin. Apalagi, di
awal tahun ini, seluruh daerah sudah melaksanakan instruksi Presiden untuk
memangkas anggaran hingga 10 persen. Pemprov Jateng malah memangkas 25 persen.
Catatan ini menjadi pertanyaan
banyak pihak. Mengapa keputusan ini diambil di tengah tahun anggaran berjalan.
Benarkah Indonesia
betul-betul sedang mengalami kesulitan keuangan atau likuiditas sehingga harus
diambil tindakan yang super mengejutkan ini.
Disinsentif
Penundaan DAU ini membuat saya
teringat pada kejadian beberapa waktu lalu. Saat itu saya mendapatkan
penghargaan provinsi terbaik sebagai pengendali inflasi daerah. Tim Pengendali
Inflasi Daerah (TPID) Jawa Tengah berhasil mengontrol inflasi sehingga harga
komoditi penting terjaga.
Presiden hadir dan memberi sambutan
pada serah terima penghargaan itu. Dan ada satu bait pidatonya yang mengejutkan
saya. Presiden menyebutkan bahwa ada 10 provinsi yang mengendapkan uangnya di
bank.
Saya terkejut setengah mati. Karena
pengelolaan anggaran provinsi saya pelototi betul dengan Government
Resources Management System. Saya tidak pernah melihat adanya
pengendapan anggaran atau kecurangan pengelolaan keuangan itu.
Saat itu juga, saya minta Pak Sekda
yang duduk di belakang saya untuk cek ke Biro Keuangan. Benarkah Jateng
menyimpan duit Rp2,43 triliun di bank.
Hanya dalam waktu lima menit sudah ada jawaban. Ternyata, uang
yang tersimpan di kas umum hanya Rp1,8 triliun. Sebagian besar di Bank Jateng.
Sebagian kecil lainnya di beberapa bank.
Dari rincian yang saya peroleh,
ternyata uang itu adalah uang keluar masuk tiap hari. Baik masuk karena
pembayaran pajak dan pendapatan atau keluar untuk biaya rutin, termasuk biaya
proyek-proyek. Ada
beberapa proyek juga yang saat itu belum ditagih.
Saya berpikir jangan-jangan uang di
kas umum inilah yang dimaksud oleh presiden sebagai duit ngendon.
Pada saat itu, ada semacam ancaman
dari Jakarta bahwa jika uang terus di-endon-kan begini, maka pemerintah daerah
akan mendapatkan disinsentif berupa pemberian surat utang saja.
Nah, pada saat saya menerima surat cinta dari Ibu
Menteri Keuangan, saya langsung teringat dengan pidato presiden yang mungkin
datanya juga dari Kementerian Keuangan itu. Jangan-jangan penundaan DAU yang
diterima Jateng adalah bentuk disinsentif itu.
Namun saya tidak mau gegabah. Saya
SMS Bu Sri Mulyani sebagai Menkeu baru. Di dalam SMS saya sampaikan bahwa saya
mohon petunjuk sekaligus klarifikasi terkait duit yang ngendon di Jateng.
Jika memang dari “alat” yang
dimiliki Kemenkeu menunjukkan sebuah kesengajaan, maka tunjukkan pejabat mana
yang melakukan itu karena akan saya copot besok pagi.
Balasan SMS Menkeu ternyata cukup
arif dan bijaksana. Beliau menyampaikan bahwa “sebaiknya kita konfirmasi dulu
Pak Gub, dan jangan tergesa-gesa mengambil sikap itu.”
Jawaban ini sungguh melegakan saya karena
ada kemungkinan catatan di kemenkeu itu diterjemahkan berbeda oleh pejabat
pelaksana yang ada di sana .
Komunikasikan dengan gubernur
Tapi soal DAU ini tetap masih
mengganjal. Saya lalu usulkan pada Bu Menkeu bahwa baik masalah duit ngendon atau keputusan penundaan DAU baiknya
dibicarakan dahulu dengan para gubernur.
Sebab gubernur adalah wakil
pemerintah pusat di daerah. Hubungan ini perlu diterjemahkan dalam bentuk
komunikasi politik yang konkret antara pusat dan daerah.
Dengan memanggil gubernur,
pemerintah pusat akan mendapatkan masukan, pandangan langsung dan data dari
lapangan. Karena bagaimanapun persoalan data di Negara ini harus kita akui
masih banyak carut marut.
Gubernur juga bisa diklarifikasi
terkait data dan persoalan-persoalan yang berkembang. Jika gubernur sebagai
representasi pemerintah pusat di daerah tidak bisa menjelaskan, maka gubernur
layak di-pisuh-pisuhi (dimaki-maki -red).
Dengan demikian, keputusan yang
diambil pemerintah pusat sudah memperhitungkan akibat dan pasti dilandasi data
yang kuat sebagai bangunan argumentasi yang kukuh untuk mendukung kebijakan.
Mudah-mudahan untuk selanjutnya pola
ini yang akan dipakai sehingga tidak memunculkan kegaduhan baru.
(Kolom Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng/kpc/inc)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !