![]() |
| Sriyana
Kabag Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, bersama Sri Sudarjo Ketua Umum LABKI, dan masyarakat adat. Saat investigasi di Komunitas Adat Mekaki Pancoran Salat (30/7) (Foto : Sayid Rizal) |
MATARAM-INDEPNews; Komnas HAM akhirnya tiba di Lombok untuk mengusut kasus pembunuhan dan perampasan tanah Komunitas Masyarakat Adat Mekaki Pancoran Salat (KEMAS PASAL). Rombongan Komnas HAM yang dipimpin oleh Sriyana Kepala Bagian Pemantauan dan Penyelidikan, yang tiba di Bandara BIL sekitar pukul 14.00 Wita (30/7), langsung begegas menuju Komunitas Adat Mekaki Pancoran Salat Desa Pelangan Kabupaten Lombok Barat.
Setiba di Lokasi rombongan Komnas HAM beserta awak
media langsung dikerumuni komunitas masyarakat adat yang ingin menyerang dengan
berbaju Adat dan membawa persejataan berupa bambu runcing dan pedang. Beruntung
aktivis Lembaga Advokasi Berantas Kejahatan Indonesai (LABKI) selaku pendamping
masyarakat adat segera turun untuk memberikan pengertian maksud kedatangan
rombongan, hingga kejadian yang tidak diinginkan dapat dihindari.
Pertemuan investigasi dilakukan disebuah Masjid
milik Komunitas Adat, dalam kesempatan tersebut masyarakat adat diberi
kesempatan untuk menyampaikan pokok persoalanya satu persatu. “kami mendiami
tempat ini sudah ratusan tahun lalu secara turun temurun, bahkan sebelum Indonesia
merdeka”, ungkap H. M. Tangguh petuah Adat, mulai menceritakan sejarah.
Sekitar tahun 1991 (masa Orde Baru) masyarakat mulai
menerima diintimidasi dengan pembakaran 17 rumah adat mereka, yang kemudian
mereka ditransmigrasikan ke Dolggal Sulawesi, serta dengan alasan lahan mereka
akan dijadikan areal konservasi. Setelah mendengar tanah mereka bukan untuk
konservasi melainkan akan dijadikan hotel oleh PT. Teluk Mekaki Indah (PT. TMI)
melalui SK Menhut No : 1320/Menhut-VI/1995, masyarakat adatpun memutuskan untuk kembali
ke tanah leluhur meraka sekitar tahun 1997.
“Sekitar tahun 1991, 17 rumah kami dibakar dan kami
ditransmigrasikan ke Donggala, namun kami tidak terima dengan munculnya plang
PT. TMI ditanah leluhur kami, ya kami balik sekitar tahun 1997 dan mengusai
tanah kami kembali hingga saat ini” , terangnya.
Lebih lanjut H. Tangguh mengatakan sekembalinya
mereka di tanah leluhur dan mengusai tanah itu kembali tidak serta-merta
menjadikan hidup mereka tentram, terror dan intimidasi kerap terjadi puncaknya
pada tahun 2008 yang mereka sebut dengan peristiwa mekaki berdarah. Dimana
dalam peristiwa itu 3 orang meninggal (satu orang meninggal ditempat dengan
luka gorokan di leher) , puluhan luka-luka, pembakaran ratusan rumah.
“Sekembalinya kami ke tanah leluhur tetap mengalami
serangan-serangan oleh karyawan dan security PT, puncaknya tahun 2008 yang membuat 3 orang
keluarga kami meninggal dan rumah kami dibakar, sementara para pelakunya hingga
saat ini masih bebas berkeliaran”, tegasnya sambil meneteskan air mata.
Kekerasan yang dialami masyarakat adat Mekaki tidak
hanya sampai disitu, saat ini ada sekitar 37 orang komunitas adat yang telah
ditetapkan menjadi tersangka penggegrahan. Setelah sebelumnya Ketua Adat mereka
Basri di jebloskan ke penjara dengan alasan dan bukti-bukti yang direkayasa
oleh PT. TMI.
“Kami tidak tau harus mengadu kemana lagi, Ketua
Adat kami ditangkap dan disiksa didalam ditahan, saudara-saudara kami
ditetapkan sebagai tersangka. Untuk itu kami sangat mengharapkan Komnas HAM
bisa melindungi kami, dan mengembalikan tanah adat leluhur kami”, pintanya
Sementara itu Sinasri, yang merupakan saksi korban
tahun 2008 menuturkan, peristiwa tersebut terjadi tengah malam. Rumahnya
didatangi puluhan orang berseragam security PT.TMI yang menyertnya keluar dan
langsung menghujaminya dengan senjata tajam sambil membakar rumahnya. “Tengah
malam saya didatangi orang berseragam PT. TMI dan langsung ingin membunuh saya,
sambil membakar gubuk saya”, kenangnya
Kejadian tersebut jugalah yang mengakibatkan istri
Sinasri meninggal saat berobat jalan akibat luka terkena benda tajam dan tumpul
di sekujur tubuhnya, Sinasri yang mengalami trauma dan ketakutan memilih pindah
sementara dari komunitas adat.
“Saya sangat trauma dengan kejadian itu, dan
memutuskan untuk pindah sementara ditempat yang aman. Baru beberapa minggu ini
saya baru berani berkumpul kembali dengan saudara-saudara saya dikomunitas
adat”, ungkapnya.
Setelah mendengar cerita keluh kesah dari masyarakat
Adat Mekaki Pancoran Salat, Sriyana berusaha memberi ketenangan sambil
menjelaskan fungsi dan tugas dari Komnas HAM. “Saya senang sekali bisa
mendengar langsung apa yang telah dialami masyarakat adat Mekaki, sudah
kewajiban kami yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU Komnas) untuk
melindungi Hak-hak azasi warga negara. Dan dalam melaksanakan tugas ini
sepenuhnya kami dibiayai oleh Negara”
Sriyana menegaskan,
tiap daerah memiliki masyarakat adat dan tanah adat atau ulayat, untuk itu Komnas HAM berjanji akan
mengkomunikasikan apa yang menjadi persoalan masyarakat adat, kususnya yang
menyangkut persoalan Hak Azasi Manusia (HAM) kepada Pemerintah Daerah NTB, Polda NTB, serta pihak-pihak terkait.
“Semua ini akan kita sampaikan dalam waktu dekat
kepada Gubernur, Kapolda, serta jajaran terkait yang ada di NTB. Saya akan
meminta kepada kepolisian untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat
Komunitas Adat sesuai dengan hak-haknya, dan perkembangannya akan saya
koordinasikan dengan LABKI”, pungkasnya.
Sementara itu Sri Sudarjo, SPd, SH Ketua DPN LABKI,
mengucapkan terimakasih dan memberikan apresiasi kepada Komnas HAM yang bisa
hadir dan mendengar langsung persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat
adat Mekaki Pancoran Salat.
“LABKI mengharap Komnas HAM segera menindak lanjuti
apa yang telah disampikan oleh saudara-saudara kita di komunitas masyarakat
adat Mekaki Pancoran Salat, serta yang terpenting memberikan rasa aman dalam
kehidupan sosial masyarakat adat, yang selama ini hak-hak warga Negaranya telah
dikebiri”, Pintanya. (Sayid Rizal)


0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !