

Mulden mengatakan, untuk
mengatasi kartel pangan pemerintah sudah banyak hadir melalui
program-program yang langsung turun kepada masyarakat. Kementan mengakui negara
ini masih harus memperbaiki tata niaga pangan, terutama pada jalur distribusi.
Terkait rantai dari produksi hingga sampai kepada konsumen, pemerintah tengah
konsentrasi terhadap pengupayaan distribusi pertanian baik dari sisi produksi
maupun di sisi konsumen. Ini dilakukan untuk mendapatkan harga yang terjangkau,
sehingga di tingkat produksi tidak terlalu rendah dan di tingkat konsumen tidak
terlalu tinggi. Pemerintah selalu melakukan kajian agar bisa mendapatkan hal
ini.
“Ini memang tugas kita
bersama, kementan selalu berupaya untuk menangani hal-hal tersebut. Kita selalu
berpihak kepada petani. Hal ini bisa dilakukan apa bila kelembagaan di petani
ataupun di peternak bisa bergerak dengan baik, hal ini bisa menjadi penertiban
tata niaga pangan, termasuk juga penemuan harga.” ungkap Mulden.
Untuk memihak nasib
petani, Arif mengatakan, pentingnya perlindungan pemerintah kepada para petani
dan peternak di Indonesia .
Ia mengusulkan komoditas pertanian dikenakan pajak (PPN) sebesar 10% seperti
yang diberlakukan pada masa orde baru.
“Konsep perlindungan
petani dan peternak itu adalah untuk keadilan. Saya usul untuk adanya PPN 10%
untuk on farm itu,
ada harga yang dilemparkan oleh perusahan bersinergi itu menjadi lebih efisien
dan lebih murah” tutur Arif.
Arif melanjutkan, hasil
studi yang ia lakukan, menyebutkan bahwa di Jawa Barat hasil pergerakan
produksi di lapangan ada perbedaan hasil yang disebutkan oleh pemerintah dengan
hasil studi yang ia lakukan, pemerintah mengatakan surplus, tetapi hasil
studinya justru defisit.
Ia mengatakan ada
problem data yang sangat serius di dunia pangan Indonesia . Input data berasal dari
daerah, mungkin ada kesalahan di input data tersebut. Karena HPP yang
ditentukan pemerintah jauh lebih rendah dibanding harga dilapangan. Menurut
Arif sampai saat ini pemerintah hanya menghitung jumlah stock yang ada di
BULOG, tanpa mengetahui jumlah beras yang ada di swasta dan masyarakat.
Terkait kedelai, dengan
pembebasan biaya pajak impor kedelai, maka harga kedelai akan selalu tinggi.
Seharusnya diserahkan kepada BULOG.
“Ada kecurigaan kepada swasta, tetapi tidak
ada yang mengetahui data sesungguhnya jumlah kedelai di
swasta. Peran BULOG penting untuk bisa mengkontrol pangan strategis
ini, kedelai, jagung dan beras.” Tutur Arif.
Gapprera mengatakan
bahwa saat ini akan ada peningkatan konsumsi daging maka dilakukan impor dan
pemasukan daging sapi, tetapi tidak ada penyerapan di tingkat konsumen.
Terkait dengan
permasalahan ayam, peserta diskusi bernama Annas mengungkapkan, akhirnya ada over supply DOC
(indukan ayam), ini menyebabkan penjualan ayam menjadi di bawah biaya produksi
yang dikeluarkan oleh peternak. Lalu dilakukan pemusnahan DOC, justru malah
terjadi kesulitan dalam mendapatkan DOC.
“Di tingkat peternak
harga ayam hanyalah Rp 10.000 tetapi di tingkat konsumen bisa mencapai Rp
33.000 artinya ada kesalahan dalam tata niaga disini. Harus ada pemotongan
distribusi disini, agar permaslaahan harga bisa diselesaikan, dan didapatkan
harga yang terjangkau, terutama bisa memotong dan meminimalisir adanya pihak
yang ingin mengambil keuntungan sendiri,” kata peserta diskusi itu.
Menjawab hal ini Gappera menanggapi, saat
ini produksi ayam berlebihan hingga 16 juta ekor dalam setahun, maka diambil
kebijakan pemusnahan. Ia menambahkan kekuatan data memang sangat dibutuhkan,
agar kebijakan yang diambil menjadi tepat.
Forum Diskusi Publik yang diselenggarakan Kementan RI
ini berlangsung meriah dan demokratis.
Selaku ketua acara diskusi, Arifin mengucapakan
terimakasih sebesar-besarnya kepada seluruh peserta karena telah menyumbangkan
kritik dan saran demi membangun pertanian Indonesia lebih baik dan berharap
ditindaklanjuti dengan kebijakan yang mensejahterakan petani. (Arifin)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !